Jumat, 30 September 2011

Bekal Kampung Akherat

 

Sudah sepantasnya kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita, nikmat yang begitu banyak, dimana sampai sekarang masih kita rasakan. Apabila kita menghitung nikmat tersebut, niscaya kita tidak akan mampu. Allah berfirman,

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللهِ لاَتُحْصُوهَا
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. (QS. Ibrahim, 34)

Perlu diketahui juga, bahwa semua nikmat yang telah Allah berikan kepada kita akan dimintai pertanggungjawaban, tidaklah kita diberi nikmat dan menggunakan nikmat tersebut dengan berfoya-foya, serta bermegah-megahan melainkan untuk ketaatan kepada Allah semata dengan mengerjakan semua perintahNya dan meninggalkan semua laranganNya.

ثُمَّ لَتُسْئَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian, kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takaatsur, 8)

Sudahkah kita persiapkan segala sesuatunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab? Dengan nikmat itu, sudahkah kita tingkatkan Amal ibadah kita? Dengan banyaknya nikmat tersebut kita wajib bersyukur, karena dengan sebab syukur, kita akan ditambah nikmat dan dengan sebab mengingkarinya, kita akan merasakan adzab yang sangat pedih.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدُ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim, 7)

Salah satu nikmat terbesar yang kita dapati saat ini adalah kita masih diberi umur panjang dan masih diberi kesempatan untuk melakukan berbagai amal ketaatan yang mendekatkan kita kepada Allah, karena sungguh, telah banyak saudara kita yang diberi kelebihan dari kita menggunakan sisa umur dengan kemaksiatan kepada Allah, melewatkan kesempatan melakukan kebajikan untuk mengumpulkan bekal kehidupan yang abadi dan mengejar keindahan dunia yang fana ini.

Marilah kita sadari, bahwa sesungguhnya kita yang bernyawa ini pasti akan menjumpai kematian. Allah berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam Surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imraan, 185)

Bukankah hal ini bisa mengingatkan kita, bahwasannya kita di dunia ini hanya sementara dan keindahanya menipu saja? Kita di dunia ini hanya sekedar menunggu giliran datangnya malaikat pencabut nyawa yang kita tidak pernah tahu kapan waktu dan tempatnya. Sudahkah kita memiliki bekal yang cukup untuk menyambutnya? Bukankah hidup ini hanya sementara, tapi mengapa kita disibukkan dengan mencari keindahanya yang hanya membutakan hati kita?

Marilah kita kembali mengingat, bahwa sesungguhnya tiap manusia punya batas waktu. Apabila, sudah datang waktu kematian tak ada yang mampu menolak, bahkan menundanya sedetik saja. Allah berfirman,

وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَاكُنتَ مِنْهُ تَحِيدُ
Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya.” (QS. Qaaf,19)

Setelah kehidupan dunia ini ada kehidupan lain yang abadi, tapi sangat sedikit yang menyadari dan melakukan ketaatan beribadah untuk bekal kehidupan yang abadi ini. Dalam hitungan akal kita, semestinya mengumpulkan bekal kebaikan untuk kehidupan yang tak berpenghujung lebih kita utamakan, karena di sanalah taruhan hidup kita. Kita hanya diberi dua pilihan yang tidak akan pernah kita dapati pilihan yang lain yaitu, Surga yang di dalamkan terdapat kenikmatan yang tak terbayangkan dan Neraka yang di dalamnya terdapat siksaan yang tak pernah bisa diperkirakan. Sehingga, cara kita mempersiapkan untuk kehidupan kampung halaman kita, menjadi tolok ukur kecerdasan dalam Islam. Sebab, masa depan kita di kampung halaman bukan hanya untuk kehidupan selama 70-80 tahun atau sama dengan umur kita di dunia ini, akan tetapi kehidupan masa depan kita adalah untuk jutaan tahun ke depan, kehidupan abadi yang tidak ada penghujungnya, yaitu kehidupan di Kampung Akhirat. Rasulullah e bersabda,

الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَ عَمِلَ لِمَا بَعْدَ المَوْتِ وَالعَاجِزُ مَنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ الأَمَانِيَ
Orang yang cerdas adalah orang yang menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah matinya. Sedang, orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan banyak kepada Allah. [HR. At Tirmidzi]

Jika kita melakukan perjalanan antar kota yang memakan waktu sehari atau ke luar propinsi yang membutuhkan waktu beberapa hari harus mempersiapkan bekal untuk melakukannya, lantas bagaimana dengan perjalanan menuju Kampung Akhirat yang abadi? Apakah kita tidak mempersiapkan bekal kita untuk menempuhnya? Kita pasti akan menempuhnya dan dan takkan pernah kembali lagi ke dunia ini, tentunya kita harus mempersiapkan bekal yang lebih banyak lagi. Kapankah kita mengumpulkan bekal tersebut, kalau hidup ini kita sia-siakan untuk hal yang tak ada manfaat di dalamnya? Apakah dengan harta yang banyak kita bisa berbekal dengannya? Sesungguhnya tidak demikian, karena Allah telah mengkhabarkan dalam firmanNya,
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa. (QS. Al Baqarah, 197)

Ada dua teori yang dapat menghasilkan pahala usebagai bekal kita menuju Kampung Akhirat, yaitu:
1.    Pahala yang Kita Cari Selama Kita Hidup di Dunia
Banyak sedikitnya pahala yang kita dapat selama di dunia tergantung amal ibadah yang kita lakukan selama masih hidup. Jika kita aktif melakukan ibadah dengan ikhlas dan mengharap ridha Allah, maka sungguh beruntung. Karena hal ini telah dikhabarkan Allah,

وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنُ - فَأُوْلاَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki, maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk Surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.
(QS. Al Mu'min, 40)

Allah menjanjikan Surga bagi siapa saja yang senantiasa beramal shalih dan beriman tanpa pengecualian, baik laki-laki, maupun perempuan mendapatkan hal yang sama, akan masuk Surga dan diberi rizki di dalamnya tanpa hisab.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Yaitu, tidak hanya ditentukan dengan satu balasan, bahkan Allah akan membalasnya dengan pahala yang melimpah yang tidak akan terputus dan tidak akan habis, hanya Allah Ta'ala yang dapat memberi petunjuk kepada kebenaran.”

2.    Pahala dari Hasil Investasi Amal Shalih Kita Selama di Dunia
Sehingga ketika kita sudah mati, pahala itu masih mengalir kepada kita. Nabi e bersabda,

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا مَاتَ ابْنِ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُ لَهُ . (رواه مسلم)
Dari Abu hurairah t berkata, Rasulullah e bersabda, ‘Apabila anak Adam meninggal dunia, maka seluruh amalnya terputus, kecuali tiga perkara, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendo'akan orang tuanya.” [HR. Muslim]

Tiga hal yang telah disebutkan Nabi sangatlah penting bagi kita, karena ketiganya berkaitan dengan bekal kita hidup di Kampung Akhirat yang pahalanya akan terus mengalir kepada kita setelah mati. Marilah kita renungkan, seumpama amal kebaikan kita kurang sedikit, tetapi hal itu sangat menentukan kehidupan kita selanjutnya dan menyelamatkan kita dari Neraka, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya, ‘Tidak bisa apa-apa’. Kita tidak bisa menambah kebaikan atau pahala sedikit pun, kecuali dengan tiga perkara yang tersebut dalam hadits Nabi e di atas, yaitu:

a.    Sedekah Jariyah
Sedekah jariah adalah mengeluarkan sebagian harta kita untuk kepentingan dan ke-mashlahat-an umat Islam dan umat manusia pada umumnya. Seperti, sarana dan prasarana yang dapat digunakan oleh umat Islam dan umat manusia seluruhnya, dengan membangun masjid untuk sarana ibadah bagi umat Islam, atau membangun jembatan untuk sarana jalan masyarakat pada umumnya dan contoh yang lainnya.
Artinya, kita dianjurkan Rasulullah untuk mementingkan orang lain dari pada mementingkan diri sendiri. Bila kita hanya mementingkan diri sendiri, maka harta yang kita tumpuk-tumpuk dengan susah payah, begitu kita mati harta itu sudah tak berarti lagi, dinikmati dan menjadi milik orang lain, tetapi kita yang harus bertanggung jawab. Sebaliknya, bila kita memikirkan ke-mashlahat-an umat dengan dakwah dan sosial tersebut, berarti kita mendapat tabungan pahala di akhirat. Dan mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan pribadi merupakan sebaik-baik manusia. Rasulullah bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Sebaik-baik manusia adalah yang lebih banyak manfaatnya untuk manusia lainnya. [Al Mu'jamul Ausath (5787)]

Mari kita tanya diri kita sendiri, ‘sudah berapa banyak waktu, tenaga, pikiran dan harta kita yang telah kita curahkan untuk proyek dakwah dan ke-mashlahat-an umat manusia seluruhnya?’ Mumpung masih diberi kesempatan, marilah kita gunakan kesempatan ini untuk melakukan kebaikan, dimana amal itu akan terus mengalir sampai pun kita sudah mati.

b.    Ilmu yang Bermanfaat
Yang dimaksud ilmu yang bermanfaat disini adalah ilmu agama, sebagaimana sabda Rasulullah e,
مَنْ يُرِيْدِ اللهُ خَيْرًا يُفَقِّهُهُ فِيْ الدِّيْنِ
Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, niscaya ia akan dipahamkan (ilmu) dalam urusan agamanya.” [HR. Al Bukhaari & Muslim]

Tetapi, bukan sembarang ilmu agama. Ilmu agama di sini adalah yang memenuhi tiga perkara, yaitu:
                                     ·          Ilmu agama yang benar, sesuai dengan Al Qur-an, Al Hadits, sesuai dengan pemahaman para ulama salaf (tiga generasi terbaik dalam Islam, yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in), bukan ilmu yang diambil dari selain Al Qur-an dan Hadits Nabi e, atau ilmu yang diambil dari Al Qur-an dan Al Hadits, tetapi difahami dengan nafsu dan akalnya, serta mengkesampingkan pemahaman para ulama;
                                     ·          Ilmu agama yang menjadikan pemiliknya bertaqwa dan takut kepada Allah, baik di waktu ramai, maupun di kala sendirian. Allah berfirman,

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاؤُا
Sesungguhnya yang takut kepada Allah hanyalah hamba-hamba Allah dari kalangan Ulama.” (QS. Fathir, 28)

Abdullah bin Mas'ud t berkata, “Ilmu itu bukan dengan banyaknya riwayat (hafalan), tetapi ilmu adalah rasa takut kepada Allah.”
Maka, jika ilmu tersebut melemahkan iman dan mengeraskan hati, dia bukanlah termasuk ilmu agama yang benar.

·         Ilmu yang mendorong pemiliknya untuk mengamalkannya.
Ia bukanlah sekedar untuk pengetahuan saja, atau hanya untuk mencari ijazah dan pangkat. Ilmu yang tidak diamalkan, seperti pohon yang tidak berbuah. Sebab, buah ilmu yang sesungguhnya adalah amal. Karena, barangsiapa yang mengajarkan ilmu, kemudian orang yang diajari itu mengamalkan dengan benar, maka dia akan mendapat pahala dari setiap orang yang pernah dia ajarkan padanya ilmu. Rasulullah  bersabda,

مَنْ دَلَّ عَلَى خّيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أُجْرِ فَاعِلِهِ
Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka dia mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang mengamalkannya. [HR. Muslim]
Berbahagialah orang yang mengajarkan ilmu, karena dengan begitu, engkau akan mendapatkan pensiunan yang amal tersebut akan terus mengalir, meskipun sudah engkau meninggal dunia.

c.    Anak Shalih yang Mendoakan Orang Tuanya
Anak adalah permata jiwa dan penyejuk hati. Untuk anak, sungguh kita siap mengorbankan apa saja, karena dia adalah darah daging kita. Tetapi, dalam Islam, memanjakan anak tidaklah dengan cara menuruti apa saja keinginannya. Kita boleh menuruti keinginan anak, selama tidak melenceng dari tuntunan syariat Islam. Orang tua yang sukses mendidik anak adalah orang tua yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak yang shalih, taat kepada Allah dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Apalah artinya orang tua yang memiliki anak-anak yang kaya, tetapi mereka durhaka kepada Allah dan tidak berbakti kepada kedua orang tuanya?! Anak semacam ini sejak di dunia sudah menyengsarakan orang tuanya, padahal kedua orang tuanya telah bersusah payah membesarkan dan membiayainya. Bahkan, mereka bisa saling bermusuhan dengan sesama saudara dan memusui orang tuanya. Hal ini telah diterangkan dalam firman Allah,

إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (QS. At Taghabun, 14)

Islam mengajarkan, bahwa anak merupakan investasi pahala yang tidak akan ada habisnya bagi kedua orang tuanya, jika bisa mendidik anak menjadi shalih dan shalihah, anak yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Do'a anak yang shalih akan senantiasa mengirim pahala kepada orang tua setelah meninggal.

Semoga semua ini dapat menambah keimanan kita kepada Allah. Marilah senantiasa memikirkan kehidupan yang tidak ada penghujungnya, yaitu kehidupan di Kampung Akhirat yang semua itu tergantung perbuatan kita di dunia ini. Semoga menjadi motifasi kepada kita semua untuk berbuat amal kebaikan dengan apa yang kita punya.

Wallahu a’lam bi `sh shawwaab,

Abdullah EYB

1 komentar: