Sabtu, 24 September 2011

Tujuh Unsur Yang Menunjang Belajar



Pada tulisan sebelumnya telah kita jelaskan tentang Kaedah Umum dalam Belajar, pada tulisan kali ini akan kita jelaskan tentang hal-hal yang bisa menunjang belajar. Seorang penuntut ilmu harus memperhatikan unsur-unsur penting yang menunjang proses belajar. Tanpa memperhatikan dan melaksanakan unsur-unsur tersebut, barangkali cita-cita untuk menjadi seorang yang berilmu hanya tinggal angan-angan belaka. Diantara unsur-unsur penting tersebut adalah :
Unsur Pertama : Meluruskan Niat
Seorang penuntut ilmu harus meluruskan niatnya terlebih dahulu, karena dengan niat yang lurus, maka Allah akan memberkati ilmunya dan memudahkannya di dalam proses belajar, sebaliknya seseorang yang salah niat dalam belajar, maka ilmunya tidak akan berkah dan amalannya tidak diterima oleh Allah. Maka, betapa ruginya para penuntut ilmu yang salah niat. Dalam suatu hadist disebutkan :
عن كعب بن مالك رضى الله عنه قال : (( سـمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من طلب العلم ليجارى به العلماء ، أو ليمارى به السفهاء ، أو يصرف به وجوه الناس إليه أدخله الله النار )) رواه أبو داود
“Dari Ka’ab bin Malik bahwasanya dia berkata : Saya telah mendengar Rosulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda : ( Barang siapa yang belajar dengan tujuan untuk mendebat para ulama, atau mempermainkan orang-orang bodoh, atau untuk mencari pengikut, niscaya Allah akan memasukkannya kepada api neraka ) ( HR. Abu Daud )
Ilmu syar’I sendiri tabiatnya memang tidak akan bisa dikuasai dengan baik tanpa niat yang lurus. Oleh karenanya, Imam Al Laits mengatakan : “ Sesungguhnya yang pertama kali harus dikerjakan seorang penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya, hal ini sangat penting agar dia bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan orang lainpun bisa mengambil manfaat darinya”.
Dalam hal ini, hendaknya para penuntut ilmu berniat mencari ridha Allah dalam belajarnya, dan itu teralisir dengan empat hal :
-          Pertama : Hendaknya ia berniat untuk menghilangkan kebodohan yang ia miliki. Allah berfirman :
قلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Katakanlah : Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? ( Qs Az Zumar : 10 )
-          Kedua: Hendaknya dia beniat untuk dapat memebrikan manfaat kepada orng lain . Karena Rosulullah salallahu alaihi wa sallam bersabda : “ Sebaik-baik dari kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia”.
-          Ketiga : Hendaknya dia beniat untuk menghidupkan ilmu, karena ilmu kalau tidak dihidupkan,maka akan ditinggal manusia dan akhirnya hilang.
-          Keempat : Hendaknya dia beniat belajar untuk diamalkan, karena ilmu tanpa amal, bagaikan pohon tanpa buah, ilmu tersebut justru akan menjadi bumerang baginya pada hari kiamat.
Jika seseorang belum mampu mengikhlaskan niatnya di dalam belajar, jangan serta merta ia langsung berhenti dan tidak mau belajar, tetapi tetaplah belajar, karena dengan belajar itu, diharapkan niatnya berangsung–angsur akan lurus. Hal ini pernah dialami oleh Mujahid, beliau berkata : “Dahulu, ketika belajar pertama kali, saya belum punya banyak niat, akan tetapi akhirnya Allah memberikan saya rizki yang berupa niat yang lurus”.
Unsur Kedua : Senantiasa Bertaqwa dan Menjauhi Maksiat :
Setelah meluruskan niat, seorang penuntut ilmu hendaknya selalu meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah dan berusaha untuk selalu menghindari maksiat, karena maksiat adalah salah satu faktor yang menghambat proses belajar. Imam Syafi’I ketika kesulitan di dalam menghafal beliau melapor kepada gurunya Waki’ yang tertuang dalam beberapa bait syairnya :
شكوت إلى وكيع سوء حفظي        فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأن العلم نور                 ونور الله لا يهدى للعاصي
Aku pernah mengeluh kepada Imam Waqi` tentang jeleknya hafalanku.
Maka beliau membimbingku untuk meningggalkan maksiat
Dan beliau berkata : “Ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya
Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”
Unsur Ketiga : Semangat dan Optimis
Seorang penuntut ilmu seharusnya selalu optimis dan semangat di dalam mencari ilmu, pantang menyerah ketika menghadapi berbagai rintangan dan tantangan. Sikap seperti ini akan membawanya kepada keberhasilan dan kesuksesan. Semangat di dalam menuntut ilmu ini dicontohkan oleh para ulama yang telah membuktikan keberhasilannya di dalam menuntut ilmu, diantaranya adalah :
Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Ibnu Hazm, yang sebelumnya adalah orang yang sangat bodoh dengan ilmu syar’i. Ketika ia masuk masjid dan langsung duduk, dia ditegur oleh orang yang disampingnya agar melakukan sholat tahiyatul masjid. Pada kesempatan lain, ketika beliau masuk masjid lagi dan langsung sholat, beliaupun kena tegur karena kebetulan waktu itu adalah waktu dilarang untuk sholat sunah. Merasa dirinya bodoh dan tidak mau dipermainkan orang, akhirnya ia bertekad untuk belajar ilmu syar’I dengan sungguh-sungguh. Akhirnya dia mengurung diri dengan banyak membaca dan belajar dengan guru-guru. Sehingga ia menjadi seorang alim Ulama.
Al Khatib Al Baghdadi dalam bukunya “ Al Jami’ li Ahkam Ar Rawi wa Adab As Sami’ , menyebutkan bahwa pada suatu hari ada seseorang yang hendak belajar hadist, mulailah ia mengikuti pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh para masyayikh ( guru ) di masjid-masjid, setelah beberapa tahun lamanya berjalan, tiba-tiba ia merasa bosan dan malas, karena selama dia belajar hadist ternyata tidak banyak manfaat yang didapatkannya . Dia berkata pada dirinya : “Sepertinya saya tidak cocok belajar seperti ini. Akhirnya dia tidak mau belajar lagi. Pada suatu hari ketika sedang dalam perjalanan, tiba-tiba dia melihat air yang menetes pada batu. Ternyata batu tersebut sudah berlubang akibat tetesan air tersebut. Terpikir dalam dirinya, Kalau air yang lunak dan lemah seperti ini bisa melubangi batu yang sangat keras, maka apakah hati dan otak-ku yang lebih kuat dari air tidak bisa melubangi ilmu yang tidak sekeras batu tadi. Akhirnya ia balik lagi ke masjid untuk menuntut ilmu hingga menjadi ulama besar”.
Kesungguhan di dalam belajar ini tidak hanya dimiliki umat islam saja, tetapi siapa saja yang mau mempraktekkannya niscaya akan mendapatkan keberhasilan, lihat saja Thomas A. Edison, yang dulunya adalah penjual koran di kereta api dan seorang yang tuli, John D. Rockefeller yang hanya mempunyai upah enam dollar perminggu, Julius Caesar yang menderita penyakit ayan, Napoleon punya orang tua kelas rendahan dan jauh dari katagori cerdas. Semua nama yang disebutkan tadi dengan segala kekuarangannya, ternyata mampu meraih kesuksesan yang gemilang di dunia karena kesungguhan mereka yang luar biasa .

Unsur KeEmpat : Dana Yang Mencukupi
Untuk menguasai ilmu-lmu syar’I, tentunya tidak bisa hanya dengan mengandalkan modal dengkul. Seorang penuntut ilmu memerlukan buku-buku bacaan, baik untuk dipelajarinya secara menyeluruh, maupun sebagai referensi di dalam penelitiannya. Selain itu, juga diperlukan dana untuk transportasi dan bekal untuk menemui para gurunya. Kenyataan membuktikan bahwa semakin banyak buku-buku yang dimilikinya atau dibacanya, seorang penuntut ilmu semakin luas wawasan dan ilmunya, dan akan dengan mudah melihatnya setiap waktu.
Unsur Ke-lima : Membutuhkan Waktu dan Proses
Seorang penuntut ilmu tidak boleh tergesa-gesa untuk segera menguasai semua ilmu yang diinginkannya, tetapi dia harus bersabar, karena segala sesuatunya perlu proses. Dan ini merupakan sunnatullah di dalam kehidupan : “segala sesuatu perlu proses” , atau seperti kaedah umum bahwa seorang bayi yang lahir tidak langsung pintar, dia perlu belajar pelan-pelan dan membutuhkan waktu sehingga besar dan menjadi pintar.
Seseorang yang tidak memahami kaedah semacam ini, cenderung gagal di dalam menguasai ilmu. Sebagai contoh ringan di dalam kehidupan akedemis mahasiswa, ketika seseorang memulai menghafal Al Qur’an secara tergesa-gesa dan berusaha menguasai hafalan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Dia tidak mau melakukan pengulangan atas hafalannya, maka dapat dipastikan orang tersebut akan gagal dalam menghafal Al Qur’an.
Fenomena semacam ini, telah dipantau secara seksama oleh para ahli fiqh, sehingga mereka menelurkan sebuah kaidah yang sangat penting sekali. Kaidah tersebut berbunyi :
" من استعجل شيئا قبل أوانه عوقب بحرمانه "
“Barang siapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu yang belum saatnya, maka justru akan dihukum untuk tidak mendapatkannya”.
Kaidah di atas juga berlaku bagi penuntut ilmu yang tergesa-gesa untuk menguasai suatu ilmu tanpa proses yang wajar. Hal ini dikuatkan oleh imam Az Zuhri, beliau berkata :
من رام العلم جملة ذهب جملة ، وإنما يطلب العلم على مر الأيام والليالي
“Barang siapa yang belajar sekali langsung banyak, niscaya ilmu itu akan hilang semua darinya. Karena sesungguhnya ilmu itu hanya bisa didapat secara pelan-pelan hari dan malam hari”.
Seorang penyair pernah menulis :
اليوم علم وغدا مثله        من نـخب العلم التي تلتقط
يحصل المرء بها حكمة       وإنما السيل اجتماع النقط .
“Hari ini belajar, besok juga begitu, barang siapa yang mengambil ilmu sedikit-sedikit, niscaya akan mendapatkan darinya hikmah, karena sesungguhnya air yang melimpah itu terdiri dari tetesan-tetesan”.
Para ulama yang sudah terbukti keilmuan mereka, juga membutuhkan proses sehingga mereka menjadi ulama yang tangguh. Lihat saja umpamanya Imam Syafi’I, beliau menghabiskan waktunya selama 20 tahun untuk mempelajari bahasa Arab. Padahal kalau diteliti, beliau adalah seorang keturunan Arab asli yang lahir di kota Arab, yaitu Palestina, serta hidup dilingkungan Arab sejak kecil. Selain itu, beliau juga fasih di dalam berbahasa Arab. Walaupun begitu, beliau tetap membutuhkan waktu untuk mempelajari sesuatu yang sudah menjadi bahasanya sehari-hari.
Lalu bagaimana dengan kita ?
Syekh Utsaimin, seorang ulama senior di Arab Saudi, karya-karya beliau banyak menghiasi perpustakaan-perpustakan dan toko-toko buku, dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Salah satu rahasia keberhasilan beliau adalah lamanya beliau mengajar di masjid besar di Unaizah, beberapa kilometer dari kota Riyadh Saudi Arabia. Diperkirakan beliau mengajar berbagai disiplin keilmuan di masjid tersebut selama kurang lebih 30 tahun , hingga hari wafatnya.
Unsur Keenam : Rihlah Ilmiyah
Seorang penuntut ilmu hendaknya tidak segan-segan untuk melakukan perjalanan dengan tujuan menuntut ilmu. Hal ini sangat penting, karena para ulama sudah berpencar di seluruh dunia. Seseorang yang hanya belajar pada beberapa guru yang ada di daerahnya saja, tentunya tidak cukup, disinilah pentingnya melakukan rihlah ilmiyah ( perjalanan untuk mencari ilmu ). Ada sebagian kawan yang mugkin berpikiran bahwa membeli buku banyak-banyak dan dibaca sendiri sudah cukup, tidak perlu jauh-jauh pergi untuk menuntut ilmu. Tentunya pikiran ini hanya bisa diterima ketika tidak ada kesempatan lagi untuk meimpa ilmu di tempat yang jauh atau di negara seberang. Jika seseorang mempunyai kesempatan untuk belajar di tempat yang jauh dan diperkirakan tempat tersebut memang sangat kondusif untuk menuntut ilmu, karena mudah mengakses buku-buku dan menemui para ulama, tentunya belajar di tempat tersebut jauh lebih baik, paling tidak dari segi pengalaman.
Dalam kesempatan lainnya Imam Syafi’I juga menulis :
تغرب عن الأوطان تكتسب العلا وسافر ففي الأسفار خمس فوائد
تفريج هـمٍّ واكتسـاب معيشـة وعلـم وآداب وصحبـة مـاجد
فان قيل فـي الأسفار ذل وشدة وقطع الفيافي وارتكاب الشدائـد
فموت الفتى خير له من حيـاته بدار هوان بين واش وحـاسـد
“Tinggalkan negaramu, niscaya engkau akan menjadi mulia, dan pergilah, karena bepergian itu mempunyai lima faedah .
Menghibur dari kesedihan, mendapatkan pekerjaan, ilmu dan adab, serta bertemu dengan orang-orang baik.
Jika dikatakan bahwa bepergian itu mengandung kehinaan,dan kekerasan, dan harus melewati jalan panjang, serta penuh dengan tantangan,
Maka bagi pemuda kematian lebih baik daripada hidup di kampung dengan para pembohong dan pendengki”.
Para ulama-pun melakukan perjalanan jauh untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang dilakukan oleh Jabir bin Abdullah yang menempuh perjalanan selama dua bulan dari Madinah menuju Mesir, hanya mencari satu hadits. Begitu juga yang dilakukan imam Syafi’I sendiri, yang berpindah dari tempat kelahirannya Palestina menuju Mekkah, kemudian dilanjutkan ke Iraq, kemudian ke Yaman, dan akhirnya ke Mesir hingga wafat beliau.
Unsur Ketujuh : Dekat Dengan Guru
Tidak diragukan lagi, pentingnya guru di dalam suatu proses belajar. Tanpa bimbingan guru dapat dipastikan seseorangakan gagal di dalam mencari ilmu. Di antara faedah belajar dengan guru adalah sebagai berikut :
Pertama : Efisien waktu dan tenaga.
Belajar dengan guru jauh lebih efisien dibanding belajar sendiri melalui buku. Seorang penuntut ilmu, jika tidak memahami suatu masalah, bisa langsung bertanya kepada gurunya, tanpa susah payah dengan mencari jawabannya di buku-buku yang belum tentu di dapatnya. Dia akan mengetahui selukbeluk ilmu yang dipelajarinya lewat keterangan gurunya yang sudah berpengalaman, bahkan dia akan mengerti banyak buku dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing buku tanpa harus membacanya dahulu, karena gurunya telah memberitahukan sebelumnya .
Kedua : Meminimalisir kesalahan.
Seorang penuntut ilmu yang belajar dengan seorang guru, maka kesalahannya akan relatif lebih sedikit jika dibanding dengan yang belajar langsung dari buku. Banyak nasehat yang diberikan para ulama dalam masalah ini, di antaranya adalah :
من كان شيخه كتابه ، كان خطؤه أكثر ن صوابه
“Barang siapa yang gurunya buku, maka salahnya lebih banyak dari benarnya”.
Nasehat ini, walau tidak mutlak kebenarannya, paling tidak bisa memacu kita untuk selalu mendekati dan belajar kepada para guru. Ada sebuah anekdot bahwa seseorang yang belajar lewat buku tanpa mau bertanya kepada guru, suatu ketika membaca tulisan arab yang berbunyi :
حبة سوداء شفاء لكل داء
“Habbah Sauda’ adalah obat dari segala penyakit”.
Mungkin karena salah cetak atau salah tulis, akhirnya orang tersebut membaca kalimat tersebut dengan bunyi :
حية سوداء شفاء لكل داء
“Ular hitam adalah obat untuk segala penyakit”.
Bayangkan jika, orang tersebut benar-benar melaksanakan apa yang dibacanya, bukannya kesembuhan yang didapat, akan tetapi kematian.
Untuk lebih jelasnya, kita akan berikan contoh yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dua orang yang buta komputer, atau GAPTEK ( gagap teknologi ) , ingin belajar dan menguasai ilmu–ilmu yang ada kaitannya dengan komputer. Yang satu belajar melalui guru dan rajin bertanya serta ikut kursus-kursus komputer, dan yang satu lagi, malas bertanya dan tidak mau mengikuti kursus-kursus, dia hanya duduk di rumah mengandalkan sebuah buku panduan tentang komputer. Tentu saja, yang belajar dengan guru akan lebih cepat bisa dan sedikit kesalahannya dibanding dengan yang belajar sendiri. Bahkan yang belajar sendiri akan banyak merusak komputer, demikian juga ilmu–ilmu yang lain.
Ketiga : Belajar bersikap hati-hati.
Belajar dengan guru akan mendidik seseorang untuk bersikap hati-hati di dalam menentukan hukum. Akhir-akhir ini banyak orang asbun ( asal bunyi ) dalam masalah agama. Dia tidak pernah belajar tentang hukum syar’I, tetapi hobinya berfatwa tentang masalah-masalah yang sama sekali tidak dikuasainya. Ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri dan masyarakat.
Keempat : Belajar adab dan sifat dari guru.
Tidak diragukan lagi, bahwa teman bergaul sangat mempengaruhi sikap dan sifat seseorang.
Seorang penuntut ilmu yang selalu dekat dan sering bergaul dengan gurunya, niscaya dia akan terpengaruh dengan akhlaq, adat dan beberapa sifat dan sikapnya. Ini sangat penting sekali, karena akan membuat seorang penuntut ilmu untuk selalu semangat dan tidak mudah putus asa, khususnya ketika melihat gurunya yang tenang, tegar dan tabah, serta sabar, tentunya dia akan ikut terpengaruh dengan sifat-sifatnya. Hal inilah yang sering tidak dipahami oleh para penuntut ilmu. Dalam suatu hikmah disebutkan :
تشبهوا بالكرام وإن لم تكونوا مثلهم ، فإن التشيه بهم فلاح
“Dekat-dekatilah orang-orang yang baik, walaupun kamu belum bisa seperti mereka, karena dekat-dekat dengan mereka adalah suatu kesuksesan”.
Oleh karena itu, para penuntut ilmu yang selalu mendekati guru-gurunya, kemungkinan besar dikemudian hari, dia akan seperti mereka.
                                                                                                              disarikan dari beberapa referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar